The Hunger Games adalah film tentang revolusi yang digemari oleh publik. Apa hikmah yang bisa kita ambil dari itu untuk perbaikan sepak bola Indonesia?
Revolusi adalah
sesuatu yang harus diperjuangkan. Che Guevara menyebut revolusi
bukanlah sebuah apel yang menunggu jatuh ketika masak, melainkan kita
harus membuatnya jatuh. Artinya, akan ada darah dan keringat yang
mengucur deras dalam sebuah perjuangan revolusi.
Ada banyak sekali contoh kisah inspiratif mengenai revolusi.
Tokoh-tokoh revolusi juga banyak. Mulai Che Guevara dengan revolusi di
Kuba, sampai Mao Zedong di Cina. Bahkan kisah perjalanan Che Guevara,
dijadikan sebuah film yang berjudul “Che” yang dibagi dalam dua part.
Selain film “Che”, ada salah satu film yang menjelaskan sulitnya
revolusi, yakni The Hunger Games. Film yang dibuat berdasarkan novel
dengan judul yang sama. Film ini berbentuk sekuel, dengan The Hunger
Games sebagai sekuel pertama, The Hunger Games: Catching Fire, sekuel
kedua, dan Mockingjay Part 1 dan Mockingjay Part 2 sebagai sekuel ketiga
dan penutup dari film maknyus ini.
Film ini menceritakan tentang seorang Katniss Everdeen yang merupakan
seorang remaja putri. Ia tinggal di negara Panem dengan Capitol sebagai
ibukota negara. Capitol memegang kendali pemerintahan secara penuh.
Setiap tahun, mereka mengadakan sebuah permainan yang disebut The Hunger
Games.
The Hunger Games adalah acara tahunan yang diikuti oleh anak
laki-laki dan perempuan yang berusia antara 12–18 tahun dari 12 distrik
di sekeliling Capitol, yang dipilih melalui pengundian untuk bersaing
dalam pertarungan mematikan yang disiarkan secara langsung di televisi.
Katniss sendiri tinggal di Distrik 12. Saat pengundian peserta yang
akan mewakili distrik 12, yang terpilih awalnya adalah Primrose
Everdeen, adik dari Katniss. Kemudian Katniss menawarkan dirinya untuk
menggantikan posisi sang adik untuk bertarung dalam The Hunger Games
edisi ke-74.
Singkat cerita, ia menjalin hubungan dengan Peeta Mellark. Rekan satu
distriknya. Hubungan yang romantis ini memaksa Capitol mengubah
peraturan dengan memperbolehkan dua orang memenangkan permainan, asalkan
dari distrik yang sama. Aslinya, yang bisa memenangkan pertarungan
hanya satu orang.
Tahun berikutnya, Capitol mengadakan The Hunger Games edisi 75. Dan sekali lagi, Katniss dan Peeta terpilih menjadi tribute
atau peserta. Mereka harus lolos dari permainan itu dan melanjutkan
aksi pemberontakan yang sempat terjadi sebelum permainan edisi ke 75
dimulai.
Singkatnya, revolusi pun terjadi. Katniss didapuk oleh Coin yang
merupakan pemimpin revolusi sebagai “The Mockingjay” – simbol
pemberontakan – yang mampu mengobarkan semangat warga dari 12 distrik.
Katniss adalah sosok revolusioner yang mampu membuat semua pihak melawan
rezim Presiden Snow.
Di akhir cerita, pemberontak menang dan revolusi pun terjadi.
Presiden Snow akan dieksekusi oleh Katniss seperti yang ia inginkan –
yakni membunuh Presiden Snow. Tapi ketika eksekusi dilakukan, Katnis
ternyata membunuh Coin dan Presiden Snow dibunuh oleh masyarakat yang
sudah menunggu waktu eksekusi Presiden Snow.
Pada akhirnya, Panem dipimpin oleh orang baru. Bukan oleh Snow
ataupun Coin yang merupakan pemimpin revolusi. Apalagi Katniss yang
akhirnya memutuskan kembali ke distrik 12, tempat tinggal asalnya.
Saat ini, sepak bola Indonesia sedang memasuki masa revolusi.
Revolusi yang sebenarnya bukan pertama kali terjadi. Pada tahun 2011,
sempat terjadi gerakan Revolusi PSSI. Tujuannya jelas, untuk menurunkan
Nurdin Halid dari ketum PSSI. Alasannya pasti kalian sudah paham betul.
Tak lama setelah itu, terjadi revolusi lagi. Imbas dari revolusi ini
adalah munculnya dualisme federasi, kompetisi, dan timnas. Gerakan ini
dimotori oleh KPSI (Komisi Penyelamat Sepak Bola Indonesia). Sampai
akhirnya kedua belah pihak memilih jalan untuk berdamai.
Tapi revolusi belum berakhir. PSSI masih diisi oleh orang-orang yang
memiliki kepentingan lain selain memajukan sepak bola Indonesia.
Revolusi belum dikatakan berhasil, karena ambisi pihak-pihak terkait
masih terlalu tinggi yang mana malah membuat sepak bola Indonesia
menjadi lebih buruk. Revolusi membuat sepak bola negara tercinta kita
menjadi lebih buruk.
Semangat revolusi anak-anak muda pencinta sepak bola Indonesia masih
membara. Dan tahun 2014, semangat revolusi mereka semakin bertambah
dengan adanya dukungan dari pemerintah. Pihak yang selama ini terlalu
takut untuk ambil bagian merevolusi PSSI. Jangankan merevolusi, sekadar
menyentuh saja pemerintah tak berani. Intervensi.
Pemerintah melalui Menpora, berusaha memperbaiki tata kelola sepak
bola Indonesia yang sudah terlanjur amburadul. Tikus-tikus sudah
menggerogoti segala sektor di PSSI. Jangankan diobati, penyakit di tubuh
PSSI sudah terlanjur kronis. Amputasi adalah jalan lain yang bisa
dipilih oleh pemerintah. Dan sudah dilakukan pemerintah melalui
pembekuan PSSI yang dilakukan tahun lalu.
Suporter terbelah. Mereka yang dulu satu suara untuk merevolusi PSSI
dan sukses menurunkan Nurdin Halid dari tampuk pimpinan PSSI, kini
mereka berbeda suara. Ada yang mendukung Menpora dan tak sedikit pula
yang menentang keputusan Menpora. Wajar. Karena hiburan yang selama ini
mengisi hari-hari, tidak bisa mereka nikmati. FIFA memberi sanksi bagi
sepak bola Indonesia dan PSSI.
Di satu sisi, ini jelas merugikan banyak pihak. Tak cuma pemain,
pelatih ataupun staf kepelatihan. Tapi lebih dari itu. Ada hak-hak masyarakat menengah ke bawah yang terlanjur menggantungkan hidupnya dari sepakbola,harus menanggung beban akibat sepak bola yang tak kunjung mulai. Tapi di sisi lain, sanksi FIFA adalah pintu gerbang yang akan membawa sepak bola Indonesia ke arah baru. Stakeholder
yang selama ini menggeluti sepak bola, wajib merumuskan formula untuk
membangun sepak bola Indonesia dari nol. Tak masalah sebenarnya. Toh selama ini sepak bola kita tak bagus-bagus amat.
The Hunger Games dan Revolusi PSSI
Ada kemiripan jalan cerita film The Hunger Games dan Revolusi PSSI.
Meskipun dalam revolusi PSSI, belum ada sinyal bahwa revolusi sudah
selesai. Revolusi di tubuh PSSI masih berlangsung.
The Hunger Games memiliki sosok Katniss Everdeen sebagai “The
Mockingjay” – sebagai simbol perlawanan. Penunjukkan Katniss pun bukan
karena ia terpilih. Melainkan ia menggantikan posisi adiknya, Primrose.
Meskipun secara kekuatan, Katniss jelas ada di level yang lebih tinggi
dibandingkan Primrose, sang adik.
Revolusi PSSI pun memiliki sosok yang layak disebut “The Mockingjay”.
Bukan seorang Imam Nahrawi yang menjadi pemimpin pasukan. Melainkan
Joko Widodo, Presiden Indonesia.
Sama dengan Katniss, Jokowi bukanlah pilihan pertama sebagai
Presiden. Ia hanya pemain pengganti yang menggantikan sosok capres lain
yang juga seorang ketua partai, Megawati. Secara kualitas, kalian bisa
membandingkan keduanya. Siapa yang lebih baik.
Katniss masuk ke medan peperangan. Semangat revolusi belum ia
kobarkan. Ia menginginkan revolusi di pertengahan jalan. Sama dengan
Jokowi yang di awal pemerintahannya, ia belum peduli dengan sepak bola
Indonesia. Baru di tengah jalan, ia mengutus Imam Nahrawi untuk lebih
serius mengawal sepak bola Indonesia. Hasilnya, keduanya sama-sama
menginginkan revolusi.
The Hunger Games memiliki Presiden Snow sebagai pemimpin yang zalim
dan harus ditaklukan. Dengan segala kebijakan yang meresahkan,
mempertebal keinginan 12 distrik untuk membuat perubahan.
Dan di PSSI pun sama. PSSI mengeluarkan kebijakan yang semakin
mengukuhkan keinginan masyakarat, bahwa revolusi harus dijalankan. Salah
satunya adalah kebijakan untuk memilih Persebaya (kini Surabaya United)
daripada Persebaya yang asli, untuk bertanding di Indonesia Super
League (ISL). Ada banyak sekali dosa-dosa PSSI yang bisa kalian temui
dengan mudah di internet.
Sampai akhirnya pasukan revolusi yang dipimpin Coin menang. Presiden
Snow ditangkap dan akan dieksekusi. Di sinilah masalah lain muncul.
Kebiasaan dari revolusi adalah ambisi yang kuat dari pihak revolusi
untuk mendapatkan jabatan. Dan inilah yang membuat revolusi itu menjadi
sia-sia.
Dan Katniss mengetahui siasat licik dari Coin, pemimpin revolusi
dalam film The Hunger Games. Bukan berarti ia memilih Snow untuk terus
menjabat. Tetapi menyingkirkan keduanya adalah langkah yang lebih baik.
Snow pun dieksekusi. Katniss yang menyimpan begitu banyak dendam,
didapuk untuk menjadi eksekutor untuk menghabisi Snow. Bukannya membunuh
Snow, Katniss lebih memilih untuk membunuh Coin yang memang memiliki
siasat licik untuk menghentikan Snow. Salah satunya siasat itulah yang
menyebabkan Primrose, adik Katniss terbunuh.
Snow bukannya bebas dari eksekusi. Ia mati dibunuh oleh masyarakat
dari Panem yang menyerbu masuk ke tempat eksekusi. Snow dan Coin pun
meninggal di waktu dan tempat yang sama. Revolusi berhasil. Dua pihak
yang ambisius musnah. Panem akhirnya dipimpin orang baru yang tidak
selicik Coin.
Letak perbedaan revolusi PSSI ada di titik ini. Revolusi PSSI belum
mencapai garis akhir. Jokowi masih berusaha melobi FIFA. Jokowi sebagai
“The Mockingjay” harus bisa mengambil jalan tengah yang menyenangkan
publik Indonesia, bukan hanya salah satu pihak. Dan pengurus PSSI yang
tak bagus kinerjanya serta semaunya sendiri itu akan didesak mundur oleh
masyarakat Indonesia.
Agar mereka tidak bisa merusak kembali sepak bola kita. Dan kita
doakan, agar Jokowi bisa menghentikan ambisi para perevolusi, agar sepak
bola kita bisa kembali ke jalan yang benar.
Sumber : Fandom ID
Sumber : Fandom ID
Baca Juga :
Facebook : Alfin Fatkurrochman
Twitter : @Alfin_FR1
panjang amat bro tapi intinya sih keren
BalasHapussalam kenal dari SimBale Blog
usul revolusinya pssi di filmin juga min .,.,.,
BalasHapus